SURVEI ABAL-ABAL Vs KEJUJURAN

KETIKA GRP Senin (16/2) merilis survey-nya yang mengunggulkan Agus-Sylvi di angka 46,4 persen saya terhenyak. GRP adalah singkatan dari ‘Grup Riset Potensial’, suatu perusahaan (PT) yang cukup berpengalaman dalam soal survei sejak 22 tahun yang lalu.
Terhenyak? Mengapa tidak, beberapa hari sebelumnya beberapa perusahaan survey terkemuka justru melaporkan Agus-Sylvi mengalami penurunan yang substantial sekitar 7-8 persen. Semua perusahaan survey itu –termasuk Kompas—menyebut faktornya adalah kekalahan Agus dalam debat kedua. Ada pula yang berspekulasi, turun gunungnya SBY malah menjadi liability dan bukan asset bagi Agus. Yang lain menyebut faktor Sylvi diduga terlibat suatu perbuatan korupsi. Menurut saya, kesimpulan tanpa survey dan analisis mendalam ini tendensius, cenderung tergesa-gesa dan keliru. They want to make us believe what they claim, kata hati saya. Atau, statement ini ada tujuan lain?Dalam rilis hasil survei di Cikini, Jakarta Pusat, Senin (16/1), GRP melaporkan hasil survei mereka 2-7 Januari 2017. Hasilnya, pasangan cagub-cawagub nomor satu Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana dipilih oleh 46,4 persen, pasangan Ahok-Djarot dipilih oleh 20,4 persen, dan Anies-Sandi dipilih 20,9 persen. GPR menemukan, 12,4 persenunidentified (swing voters). Dari sampel yang dipilih, 8,2 persen tidak menjawab.GRP mengejutkan, karena mempublikasikan hasil riset yang diselenggarakan yang hasilnya bertolak-belakang dengan rilis keempat survey sebelumnya.Tidak tanggung-tanggung, media mainstream nasional dan internasional memuat laporan survei ini. Tidak mudah bagimedia mainstream untuk memuat hasil survey yang kurang ‘sealiran’ dengan mereka. Kita tahu, mainstream media-pun kini cenderung partisan: ‘maju tak gentar membela yang bayar’!Sebagai ‘orang survei’, saya ingin berbagi catatan. Saya menulis “Manipulasi Survei dan Pilkada DKI”.Dalam artikel ini saya menulis: “Industri survei kian marak, apalagi ada ‘uang’ (kabarnya triliunan rupiah berseliwerai dalam Pilkada ini) yang bermain di kegiatan pemindaian opini yang kini menjadi alat untuk mengukur seberapa jauh kinerja calon Pilkada atau calon legislatif yang diukur dengan tingkat popularitas maupun tingkat keterpilihan (electability).”Saya sendiri dengan beberapa teman mendirikan perusahaan survey, dan kami telah beberapa kali diminta oleh parpol besar untuk melakukan survei, guna menentukan kemana dan kepada calon mana suara dukungan akan diberikan oleh parpol ini. Jadi, ada pengalaman sedikit untuk menulis artikel ini.
Apa itu survei, mengapa dimanipulasi, dan bagaimana caranya?Survei adalah bidang statistik terapan, berkaitan dengan metodologi untuk mempelajari sampel dari unit individu dari suatu populasi dengan teknik dan prosedur untuk pengumpulan data, konstruksi kuesioner dan metode untuk meningkatkan jumlah dan akurasi dari hasil survei yang lebih menjamin ‘kebenaran’ data.Tidak sulit memahami bagaimana suatu survei dimanipulasi. Seluruh prosedur survei: pembuatan design, penetapan variable, pemilihan sample, pembuatan pertanyaan, pengumpulan data survei, tabulasi, validasi, sampai ke tahap pelaporan (final) adalah tahapan-tahapan yang bisa ‘dimainkan’ ketika kejujuran intelektual dan moral sudah amblas dengan iming-iming milyaran rupiah. Margin error cuma klaim belaka.Tujuan manipulasi jelas demi mengangkat calon yang terpuruk, maka survei-pun dijadikan ajang untuk ‘membentuk’ opini publik atau sekadar untuk menyenangkan diri. Sor sendiri, kata orang Medan, walaupun secara riel kebohongan seperti ini tidak akan tercermin dari data lapangan. Lembaga survei yang gampang tergoda dengan duit, dengan mudah dibeli. Dan, mereka mengerjakan survei serta mempublikasikan hasil-hasilnya untuk keuntungan tim Paslon yang membayar mereka: pembentukan opini publik yang favorable.Meskipun secara metodologis, prosedur, dan etika hasilnya menjadi abal-abal dan bertentangan dengan realitas, perusahaan seperti ini tidak peduli. Bagi mereka, yang penting duit dan etika maupun profesionalisme di-nomordua-kan saja.Karena concern terhadap berbagai manipulasi lembaga survey dan tidak memberi informasi tepat atau mendidik masyarakat, maka bersama teman-teman kami mendirikan Asosiasi Lembaga Survey Indonesia (ALSI) yang memiliki “Kode Standar dan Etika Penelitian Survey” (Code of Standards and Ethics for Survey Research) yang seyogianya menjadi kode moral dan etika lembaga pada saat menyelenggarakan survey.Tanpa Kode Standar dan Etika ini maka kemunculan perusahaan survei bayaran dengan hasil abal-abal akan merusak industri ini karena sudah tidak kredibel lagi. Kehilangan ‘trust’ dan integritas lembaga survey akan melunturkan kepercayaan masyarakat baik klien maupun publik. Ini yang kini sedang terjadi. Dalam kerangka ini, ALSI menjadi penting sebagai lembaga pengawas dan evaluator ketika terjadi penyimpangan.
Mengapa GRP mencuat menjadi harapan?Metodologi stratified systematic sampling, dan pemodelan statistik regresi multinomial logit ini adalah baru, dan lebih kredibel daripada metodologi sederhana yang lazim dipakai sekarang oleh berbagai perusahaan survei. Data tidak gampang berubah “karena kalah debat, kasus korupsi menimpa pasangan, fitnah kepada keluarga calon”. Gampang menduga bahwa di masyarakat tradisional faktor kedekatan sosiologis, psikologis bahkan agama memainkan peranan dalam menetapkan pilihan.Apa faktor yang dapat mengubah dependent variable? Data akan berubah jika terjadi perubahan pada variable secara signifikan. Misalnya, karena penistaan agama, tertangkapnya e-KTP palsu, bermainnya ‘faktor luar’ yang memang ingin menghancurkan Republik, atau kasus-kasus yang menonjol.Debat? Ah, di masyarakat maju yang rasional sekalipun terbukti debat tidak memengaruhi perubahan pilihan. Lihat saja, Hillary Clinton yang memenangkan tiga kali debat dengan elektabilitas jauh di atas Donald Trump – pernah sampai dua digit – ternyata keok dalam realitas. Di negeri kita? Rakyat pemilih terbesar tidak menonton debat. Jika ikut menonton, mereka juga tidak faham betul apa yang menjadi substansi perdebatan. Mereka sudah punya pilihan. Sekiranya paslon mereka menyerang lawan, mereka senang. Apa saja pembelaan atau argumen lawan – benar atau salah, valid atau tidak – tidak mudah mengubah preferensi. Mereka, rakyat menengah ke bawah menonton debat ibarat menonton tinju. Mereka tetap membela jagoan mereka. Mereka tidak memiliki nalar untuk berfikir sepenuhnya logis. Mental menang-menangan masih prevail di negeri ini.Kembali ke pokok masalah. Dengan penggunaan sampling yang lebih sophisticated yang memiliki standar akademik yang jelas, GRP Dalam survei yang dilaksanakan pada 2-7 Januari 2017 silam GRP mencatatkan nama pasangan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)-Sylviana Murni berada di peringkat pertama prediksi kemenangan, dengan perolehan suara 46,4%.Denny JA dari LSI, menggunakan metode multistage random sampling menempatkan Agus-Sylvi di angka 36,7%. Disusul oleh perolehan presentase pasangan Basuki-Djarot sebesar 32,6%, dan pasangan Anies-Sandi 21,4%.Sedangkan dua hari kemudian, pada Kamis (19/1), Poltracking dan PolMark Indonesia, juga menggunakan metode multistage random sampling ini, menghasilkan prediksi elektabilitas yang berbeda.Pada survei yang dirilis Poltracking, pasangan AHY-Sylvi terlihat unggul dengan 30,81%. Sementara pasangan Basuki-Djarot hanya unggul 0,13% saja dari pasangan Anies-Sandi, dengan perolehan suara 26,85% berbanding 26,72%.Sementara menurut hasil survei PolMark Indonesia, elektabilitas pasangan Anies-Sandi, menembus angka 31,7%. Disusul dengan presentase 29,9% untuk pasangan AHY-Sylvi, yang meninggalkan pasangan petahana Basuki-Djarot di posisi corot (buncit) dengan angka 24,6%.
Pertanyaan, mengapa hasil survey bisa bebeda-beda? Tergantung pesanan atau digunakan untuk pembentukan opini? Sejauh mana perusahaan survey menjaga independensi, taat asas, dan etika survei?Terlalu banyak pertanyaan. Dalam tulisan saya berkaitan dengan maraknya survei abal-abal yang ‘terjebak’ dengan permainan duit rela mengorbankan etika dan profesionalisme serta kepentingan jangka-panjang survey: survival.Dalam penjelasannya, GPR menyatakan mereka melakukan survey sampling di 27 dari 267 kelurahan di Jakarta, dengan 2.745 responden. Sampel di setiap kelurahan sekitar 100 responden. Survei ini menggunakan metodestratified systematic sampling dan model statistika regresi multinominal logit dengan margin of error di bawah 2 persen. Survei dilakukan menggunakan mobile survey application (MOSAIC) yang dilengkapi GPS untuk menghindari survei palsu yang dilakukan oleh enumerator. GRP konsultan riset pemasaran juga mengerjakan survey politik, telah beroperasi selama 22 tahun.
Apa yang membuat survei GRP secara substansial berbeda dalam arti menjadi lebih terpercaya daripada hasil survei perusahaan ‘abal-abal’?GRP telah mengenalkan metodologi baru dalam survei, yang berbeda dengan metoda multistage random samplingyang lazim dipakai untuk mengukur tingkat elektabilitas seorang atau lebih politisi dalam kontestasi pemilihan, seperti di perusahaan kami.GRP menggunakan metodologi stratified systematic sampling, dan pemodelan statistik regresi multinomial logit.Metodologi multistage random sampling bekerja dengan asas pemilihan lokus dan responden dilakukan secara acak (random), dengan asumsi bahwa semua unit wilayah maupun responden) memiliki potensi keterpilihan yang sama. Metoda ini, jauh akan lebih efektif dan efisien jika diterapkan pada masyarakat dengan karakteristik yang seragam (homogen), bertumpu pada kesamaan potensi masing-masing daerah untuk terpilih ke dalam sampling.Untuk wilayah luas dan berpenduduk besar seperti Jakarta – apalagi dalam Pilkada yang kompleks – penggunaan metoda ini sulit diharapkan menghasilkan data dan temuan yang representatif, akurat, dalam arti mencerminkan realitas lapangan.Masyarakat Jakarta yang heterogen, perlu dikelompokkan terlebih dahulu ke dalam beberapa variabel tertentu. Pengklasifikasian ini penting dilakukan untuk menjamin bahwa survei yang dilaksanakan mencerminkan kondisi yang representatif. Ini kunci yang membedakan metodologi kami dan perusahaan survey lainnya dengan GRP.
Metoda apa yang tepat untuk survey politik Pilkada DKI?“Terkait komponen penelitian yang kami susun, kami meyakini bahwa kondisi majemuk masyarakat Jakarta, perlu distratifikasi terlebih dahulu melalui variabel-variabel yang kami pilih, sesuai karakteristik strata sosiologis pemilih,” penjelasan GRP.Apa saja variable-nya? Pertama, proporsi jumlah penduduk Muslim perlu mendapat perhatian penting.Kedua, variabel kepadatan penduduk dan luas wilayah. masyarakat dengan kepadatan penduduk yang tinggi interaksi sosialnya cenderung tinggi, akan jauh berbeda dengan kondisi kepadatan penduduk yang rendah, di mana interaksi sosialnya juga tergolong rendah.Ketiga, variabel sex ratio. Faktor ini juga kami anggap penting untuk melihat sejauh mana perbandingan proporsi jenis kelamin, di daerah yang kami jadikan sample penelitian.Keempat, variabel tingkat pendidikan. Kelima, strata pekerjaan (TNI/Polri/PNS). Kami berasumsi, bahwa salah satu pertimbangan pemilih dalam menentukan pilihan politiknya, setidaknya dipengaruhi oleh elemen ini.Keenam, variabel proporsi pekerja informal dan pekerja kantoran. Tentu kita juga semua dapat memaklumi, bahwa pilihan politik bagi para pekerja informal akan memiliki kecenderungan berbeda dengan pekerja kantoran.Sepuluh persen dari 267 kelurahan dibulatkan menjadi 27 kelurahan. Dengan sebaran 100 responden di setiap Kelurahan, maka total dari jumah sample sebesar 2.675. Jumlah sample yang amat banyak tentunya, bila Anda bandingkan dengan lembaga survei yang lain, yang biasanya bermain di angka 400-800 responden. Maka dari itu, margin of error yang kami tetapkan sebesar 2% saja.Pemilihan sampling kelurahan dilakukan GRP dengan menyortir daftar Kelurahan yang ada di seluruh DKI Jakarta sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS). Salah satu kelebihan GRP adalah dalam soal transparansi. Data mereka terbuka untuk diakses, diuji oleh siapa saja yang berkepentingan. Hampir semua perusahaan survei tidak terbuka soaldata ini. Ini rahasia dapur, dan banyak yang perlu ditutupi di sana. Maka, ketika GRP merintis preseden untuk keterbukaan data kepada public maka ini perlu diapresiasi. Keterbukaan data bisa fatal bagi sang abal-abal, namun ini menjadi salah satu kekuatan GRP yang tidak dimiliki oleh perusahaan survei lain. Bila perusahaan survey abal-abal berani menerapkan transparansi ke publik, maka jelas semua ‘rahasia dan permainan’ akan terbongkar. Habislah kredibilitas.Sebagai perusahaan market survei yang memiliki banyak client, termasuk dari instansi pemerintah sejak 8 tahun silam, wajar jika GRP telah memiliki surveyor di lapangan yang kredibel dan berpengalaman. Faktor SDM handal ini penting dan sangat membantu dalam melaksanakan survei yang kredibel. Para interviewer GRP tampaknya sudah terbiasa menggunakan aplikasi gawai untuk memperoleh data. GRP mengklaim bahwa sejak lima tahun terakhir mereka menggunakan aplikasi survei yang diciptakan mereka, bernama Mobile Survey Application (MOSAIC). Berbeda misalnya, perusahaan survei untuk menghemat menggunakan orang lapangan yang belum banyak pengalaman.Setelah daftar Kelurahan ditentukan (sesuai data BPS dan variabel-variabel penelitian), para interviewer kami di lapangan akan membagi proporsi Rukun Warga (RW) yang ada, dengan pengambilan jumlah responden. Jadi, bila di satu kelurahan terdapat lima RW, maka dari masing-masing RW akan didapat 20 responden.Sebagai informasi tambahan saja, bahwa data yang dikirimkan oleh para pewawancara ke server di kantor pusat datamentah berupa lampiran jawaban atas pertanyaan dalam gawai serta data foto, lokasi koordinat GPS, dan rekaman suara saat wawancara berlangsung. Ini mengurangi potensi kecurangan timbulnya fake interview, atau ‘interview di bawah pohon’ untuk memudahkan kinerja tim quality control dalam melakukan validasi data.Analisis data juga transparan. Data yang terverifikasi oleh quality control dianalisis dan dimasukkan ke dalam sebuah formulasi statistika, bernama regresi multinomial logit, untuk dilakukan model pendugaan terhadap populasi.Publik pun boleh mengakses data-data mereka, seperti data Kelurahan mana yang dijadikan sample, hingga peta elektabilitas per-Kelurahan di seluruh DKI Jakarta hasil regresi multinomial logit tersebut, dengan terlebih dahulu meminta akses server kepada contact person yang kami cantumkan saat rilis dilaksanakan. Ini luar biasa dan tidak ada di perusahaan survei lain.Dalam metode stratified systematic sampling, proses pengambilan data responden dilakukan juga secara sistematis dengan pola-pola yang khas. Tentunya dengan terlebih dahulu dilakukan proses yang berjenjang yang bermuara pada basis data di kelurahan dan unit lebih kecil di bawahnya, dengan asumsi bahwa tiap-tiap Kelurahan yang ada di Jakarta memiliki karakteristik yang berbeda-beda.Kata kunci metoda ini adalah sample sejak dini diyakini beragam atau heterogen, sehingga diperlukan pengklasifikasian untuk menjamin akurasi dan keterwakilan data, sesuai kondisi ril. Selanjutnya, dilakukan pemodelan prediksi ke seluruh populasi yang ada. Dalam hal ini, model pendugaan statistik yang digunakan oleh GRP, menerapkan pola regresi multinominal logit.Apa beda kedua metoda ini? GRP menyatakan metoda multistage random sampling dengan sampling wilayah dan responden dikatakan memiliki potensi keterpilihan yang sama, metoda stratified systematic sampling mengakui kondisi kemajemukan sampling. Kesalahan dini akan menjebak survey dengan hasil yang berbeda-beda dan selalu berubah meskipun dilakukan dalam kurun waktu yang bersamaan. Dengan metodologi data lebih awet, tidak gampang berubah, kecuali ada kejadian-kejadian yang luar biasa dan mengubah persepsi atau keyakinan pemilih.Menurut GRP, masyarakat Jakarta yang heterogen, perlu dikelompokkan terlebih dahulu ke dalam beberapa variabel dengan referensi data yang kredibel. Pengklasifikasian ini penting dilakukan untuk menjamin bahwa survei yang dilaksanakan mencerminkan kondisi ril dan representatif.Setelah area sampling ditentukan secara berjenjang sesuai keperluan variabel yang digunakan, maka proses pengambilan data kepada responden dilakukan juga secara sistematis dengan pola-pola yang khas. Karena itu, GRP menjadikan unit kelurahan sebagai lokus utama penelitiannya, dengan menyadari setiap Kelurahan memiliki karakteristik yang berbeda.Tadi di atas saya menyebutkan ‘sampling’ menjadi kunci kekuatan dan kebenaran data. Tentu berbeda halnya jika perusahaan abal-abal sudah memiliki rencana jahat. Mereka akan melakukan sampling di daerah-daerah ‘sang jagoan’. Interview yang dilakukan di mall atau di Glodok tentu berbeda tajam hasilnya jika dilakukan dengan memasukkan ‘daerah-daerah lawan’. Jadi, salah-salah melakukan pemilihan wilayah sampling akan fatal akibatnya terhadap kebenaran hasil dan kejujuran proses.Bagi kami di survey, tidak aneh jika kita harus berhait-hati dalam penyusunan questionnaire. Di sini – wilayah rawan kedua – pertanyaan bisa berupa ‘penggiringan’ ke arah jawaban yang dikehendaki. Sampai kini, perusahaan surveytidak berani membuka questionnaire ini ke publik. Ada apa?Prosedur kerja GRP memang berbeda. Setelah hasil survey pada sampling terpenuhi, selanjutnya dilakukan pemodelan prediksi ke seluruh populasi yang ada. Dalam hal ini, model pendugaan statistik yang digunakan oleh GRP, menerapkan pola regresi multinomial logit.GRP – seperti kami di ALSI – juga prihatin sejak tragedi Pemilihan umum 2014, terutama Pilpres yang menyebabkan kegaduhan politik nasional yang terus berpolarisasi hingga kini, yang secara jangka-panjang telah mengakibatkan turunnya marwah lembaga riset di mata masyarakat.Lembaga survei yang memikul idealisme dan tanggung-jawab kini meluntur. Sumber informasi netral kini telah hilang, ternoda akibat segelintir ulah tercela oknum-oknum yang mengatas namakan lembaga riset. Rakyat dianggap ‘bodoh’ dan dilecehkan.Terlebih lagi, adanya fakta beberapa lembaga survei tergadaikan oleh sejumlah uang dan keberpihakan politis ini telah melecehkan standar akademis dan etika. Pelacuran kaidah akademis untuk tujuan di luar kebenaran menjadi skandal yang memalukan, tulis GRP.Berkaitan dengan Pilgub DKI 2017, banyak pemberitaan negatif dan ragam manipulasi data yang dilontarkan oknum-oknum pendulang suara calon tertentu.“Keadaan ini membuat zona nyaman kami terhenyak. Sebagai salah satu aktor utama di bidang riset, naluri akademis kami bangkit,” kata GRP.“Tujuan kami jelas, untuk kemudian mengawal Pilgub DKI 2017 berlangsung secara baik, adil, dan terlebih lagi dijalankan secara benar. Sebagai sumbangsih kami kepada warga Jakarta, dan sebagai pertanggung jawaban akademis kami, kebenaran yang kami maksud bisa dilalui dengan penyediaan data-data dan informasi yang valid, dan bisa dipertanggung jawabkan sesuai kaidah akademik yang berlaku secara umum,” tegas GRP.Idealisme ini sama dengan kami di ALSI. Survei harus menjadi instrumen yang bermanfaat. Bukan untuk ‘permainan asal-asalan’, yang di desain ke arah hasil yang dikehendaki (favorable) – meskipun bermodalkan kecurangan – karena begitu pesan si pemberi order.Pertanyaan selanjutnya, jujurkah mereka jika mengatakan membayar sendiri survei, tidak menerima ‘bayaran’ dari salah satu Paslon? Ah, kejujuran kini menipis tajam di Republik tercinta ini. Dengan uang kualitas manusia berubah ke arah negative. Just like that.Kaidah bahwa lembaga survei pesanan tidak boleh membuka temuan mereka ke public adalah penyalah gunaan kode etik internasional. Ini bisa menjadi dasar bagi client yang membayar, dan mereka bisa menggugat lembaga riset yang menyebarkan hasil risetnya kepada pihak lain. Tetapi, di negeri ini dengan lantang perusahaan survey abal-abal membuat klaim, sesuai dengan pesanan dan skenario yang sedang dimainkan. Kita patut curiga memang biaya konpres sudah masuk dalam kontrak. Memang dikehendaki oleh pemesan.Dengan kenyataan transparansi GRP, kami ingin menggarisbawahi keyakinan bahwa survei GRP menjadi bukti riset mereka bukan pesanan suatu pihak.Informasi dibuka untuk memenuhi tuntutan publik agar transparansi serta kaidah-kaidah statistik, prosedur survei yang dijalankan para lembaga survei dapat dipahami dengan baik.Skandal publikasi hasil survey ‘pesanan’ akhir-akhir ini berkaitan dengan Pilkada DKI, di mana seorang calon yang sedang ‘hancur-hancuran’ diangkat oleh sebuah lembaga survey menjadi ‘calon unggulan’ yang diklaim karena menang dalam debat pertama. Survei abal-abal pun kian marak. Ini membahayakan dalam jangka-panjang.Permainan ‘survei politik berbau duit itu, ada pada 2 sumber: pemilihan sampling data, dan penyusunan kuestioner. GRP meyakinkan saya, pemilihan metodologi menjadi krusial, terutama di daerah berwilayah luas, berpenduduk banyak, multi-etnis, dengan berbagai strata social dan profesi di ibukota Jakarta ini yang seyogianya harus menjamin bahwa metoda sampling dilakukan tidak sederhana. Ini perlu menjadi faktor ketiga yang krusial dan GRP telah menawarkan solusinya.Begitulah pembentukan opini yang spekulatif dan terencana dilakukan demi mendukung ‘sang junjungan’ yang menjadi klien perusahaan survei abal-abal yang menjadikan duit sebagai tujuan.Dalam artikel saya di atas, kehancuran industri survei karena maraknya survei abal-abal, yang lebih suka duit daripada memegang teguh profesionalisme (taat metodologi), dan taat etika, dan ini mencemaskan saya. Artinya, perusahaan yang memegang teguh profesionalisme serta taat asas menjadi kunci bagi tingkat representativeness data dari sampling yang benar, serta impartialitas dalam penyusunan questionnaires. Survei pesanan untuk suatu kepentingan politik – demi pembentukan opini bahwa Paslonnya unggul – memang bisa merusak kredibilits industri survei.Ada pula suatu ‘teori’ yang saya dengar bahwa survei juga bisa dimanipuir untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas. Menurut seorang teman, ada modus bermain lebih dari sekadar soal dongkrak-mendongkrak popularitas. Modus ini terkait dengan strategi ’pembenaran’ bahwa klaim survey abal-abal terhadap persentasi keunggulan itu sebenarnya tidak riel. Ada ‘gap’ di angka yang nanti akan ‘dimainkan’ pada hari H. Mereka akan mengatur agar ‘angka klaim itu’ akan match ‘dengan klaim survey mereka. Perbuatan tercela ini harus dilawan!Di balik ini, ada ‘suatu permainan’ menang at all cost, dengan melakukan apapun demi tujuan memenangkan Paslonclient mereka, tanpa memerdulikan soal etis dan pertanggungjawaban kepada masyarakat atau publik. Jadi, pembenaran dibuat dulu, dan action susulan akan dilakukan. Survei pun telah menjadi instrumen ‘pembenaran’ atau instrumen pembentuk opini. Hina sekali.Wallahualam bissawab jika memang benar ada taktik dan strategi terhina ini dilakukan. Pasti ada taruhan besar di balik Pilkada DKI 2017 ini. Kita sama-sama tahu.GRP setelah merilis hasil-hasil mereka dengan penjelasan yang terang-benderang bagaimana mereka memilih sampling sekitar 2700 (angka yang besar sekali) dengan pemilihan metodologi yang berbeda dengan perusahaansurvey manapun – termasuk perusahaan survey kami, PT SLN – telah membentuk suatu preseden baru yang bisa diadopsi ke depan. Jelas dengan metodologi konvensional kami hanya menghabiskan sekitar Rp. 150-200 juta persurvey. GRP pasti menghabiskan dana hampir semilyar rupiah untuk survey ini. Harga diri dan kredibilitas memang mahal harganya.Ada pertaruhan besar di balik munculnya hasil survey GRP. Pertama, untuk kredibilitas perusahaan survei secara benar dan etis. Kedua, misi idealism bahwa masyarakat berhak terhadap informasi yang benar, ketika spin doctor tidak diberi ruang. Ketiga, sharing mengenai metodologi yang baru dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Keempat, pertaruhan politis bahwa pemenang yang sah adalah berhak menjadi pemenang, dalam rangka menghadirkan kepemimpinan yang terbaik di Jakarta. Kelima, untuk pertama kalinya suatu perusahaan survey siap untuk diverifikasi, diadut dan membuka semua ‘dapur’ mereka secara terang-benderang.Saya ingin menambahkan lagi tentang kegiatan lanjutan perusahaan survei, yaitu penyelenggaraan quick count dan GRP telah menyatakan akan ikut dan telah mendaftar KPU.“Melalui prosedur yang telah diatur secara legal, maka dengan kebulatan tekad dan semangat akademis itulah, kami mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi DKI Jakarta, sebagai lembaga survei yang resmi tercatat untuk menyelenggarakan quick count di tanggal 15 Februari nanti.”Apa dampak keikutsertaan GRP dalam quick coint? Saya kira bagus. Dengan keikutsertaan perusahaan survei yang kredibel, maka perusahaan ‘abal-abal’ akan ketar-ketir, merasa terancam dan khawatir bila mereka melakukan kecurangan. Sulit bagi mereka – di tengah era persaingan – akan mengadakan ‘kongkalikong’ bersama perusahaan survei lain untuk ‘mengatur’ hasil pertandingan.
Scenario-nya seperti apa?Dengan pengumuman data quick count telah masuk dari 44 kecamatan, maka seperti sebelumnya perusahaan ini akan mengumumkan: “Si Anu telah unggul, dan sulit untuk dikejar. Karena itu pasangan ini yang telah memenangkan Pilkada DKI”. Biasanya, untuk memperkuat pembenaran mereka telah menyewa seorang pakar untuk meneguhkan ‘penggiringan opini’ bahwa it’s all over dan jelas siapa pemenangnya.Kita tahu, pada jam 1400-1500 itu adalah waktu krusial, ketika data dari TPS akan dikirimkan ke Kecamatan. Pada saat itu pula, ‘provokator’ yang menjadi agen menyatakan: “Wah, si Anu telah menang dan data quick count telah masuk di atas 90 persen dan tidak akan mengubah hasil real count. Mari kita selesaikan pekerjaan kita, dan biar kami yang akan menyelesaikan administrasi, dan silakan ditandatangani saja Berita Acara ini.Dengan provokasi seperti ini, mereka pun – para lawan – telah kehilangan semangat, dan dengan dibekali ‘sekadar uang lelah’ mereka pun pulang. Dan, apa yang terjadi setelah pengumuan quick count dengan pemenangnya semua kita tahu. Dan, ini menjadi bagian dari skenario kerja bagi pecurang yang memang ingin menang at all cost dan melakukan serangkaian taktik-strategi sampai pengawalannya di KPU. Kabrnya, strategi ini dipakai dalam Pilkada yang lalu,but now no more!Karena itu, keikutsertaan GRP dalam quick count akan mengubah peta lapangan Pilkada pada ‘hari H’, dan perusahaan survei abal-abal pun siap-siap gulung tikar apabila independensi, profesionalisme dan etika telah mereka lupakan, demi ‘a few more dollars’.Kesimpulan yang ditarik dari survei GRP, adalah, pertama, GRP perusahaan internasional yang memiliki reputasi dan kredibilitas tidak mudah untuk mau melakukan manipulasi hina-dina. Prosedur ketat dengan metodologi ilmiah yang handar maka kredibilitas akan menguat bila berhasil memosisikan dirinya unggul dibandingkan dengan perusahaan survei abal-abal pesanan. Etika profesi survei internasional menjadi acuan, bila diabaikan akan menghancurkan reputasi perusahaan. Maka, hasil survei maupun quick count GRP lebih kredibel dan bisa dipercaya.Berdiri selama 22 tahun (terbentuk tahun 1994) di Indonesia, GRP yang telah berpengalaman di duniamarket research, juga dalam survei politik, jauh sebelum lembaga survei politik lahir dan tumbuh subur di Indonesia, pada tahun 2001 silam.Indosat maupun Bank Indonesia – lembaga kredibel yang menjadi client GRP – meyakinkan kita bahwa GRP tidak akan mengorbankan reputasinya dan tentu saja client yang telah menghidupi perusahaan ini. Ada pertanggungjawaban ilmiah, etika, dan profesionalisme di setiap pekerjaan mereka.Kedua, penggunaan metodologi yang tepat akan menjamin hasil yang lebih akurat. Dalam data survei-survei lainnya dengan mudah angka itu naik-turun sesukanya, sehingga dengan dalih data gampang berubah adalah excuse mereka jika pada akhirnya hasil survey mereka tidak sama dengan hasil riel, 15 Februari mendatang.Ketiga, karena GRP masih mengemban misi idealisme, memberikan informasi yang benar kepada masyarakat, tidak melakukan penggiringan opini, adalah merupakan sumbangsih penting dalam proses demokratisasi untuk mencari pemimpin terbaik dari stock yang ada.Keempat, GRP akan menjadi batu sandungan kepada perusahaan survey abal-abal doyan duit. Keberadaan GRP akan menjadi peringatan bagi mereka untuk ‘jujur’, beretika dalam pelaksanaan pekerjaan mereka. Kejujuran ini sangat penting agar masyarakat tidak gampang dibodohi, apalagi ditunggangi untuk suatu tujuan kepentingan politik atau ekonomi atau apapun.Perusahaan survei abal-abal cuma senang diberikan duit dan melakukan pekerjaan hina-dina menipu rakyat dan tanpa mereka sadari telah mencederai proses demokratisasi di tanah air akan ‘gulung tikar’ karena ulah mereka sendiri.We are now at the crossroads, whether we will lead these local elections toward the destruction of or saving democracy in this country would depend on our attitude and behavior. This is my caveat to the government and all stake-holders.
Jakarta, 11 Februari 2017